Suatu ketika,
Gandhi pernah dikirim cek sebesar dua puluh pound oleh sahabatnya Madeline dari
Inggris. Sebagai ucapan terima kasih, Gandhi mengirimkan sepucuk surat balasan
kepada Madeline, isi pesannya : “Temanku
,…Aku berterima kasih atas cek dua puluh pound yang kau kirimkan. Uang itu akan
digunakan untuk memopulerkan roda pintal”.

Pada masa itu
roda pintal menjadi simbol perjuangan masyarakat India yang melambangkan
kebajikan yang paling tinggi. Di bawah bimbingan Gandhi, simbol perjuangan itu
kemudian menjelma menjadi simbol dalam banyak hal: kaum miskin India,
perjuangan negeri India untuk kemerdekaan, dan persaudaraan yang bersifat
universal.

Cerita ini
hanyalah sepenggal peristiwa sejarah perjalanan perjuangan Mahatma Gandhi dalam
mewujudkan kemerdekaan. Bagi Gandhi, kemerdekaan dapat diwujudkan melalui
kemandirian masing-masing warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti
pakaian.

Cerita ini
mengundang kita untuk kembali mempertanyakan kembali keberadaan kita saat ini
di tengah impitan ekonomi dan pengaruh arus konsumerisme yang sengaja
diciptakan untuk menyokong pasar global. Lalu apa arti dari perjuangan dalam
membebaskan diri dari keterjajahan yang senantiasa terjadi dalam keseharian
kita? Bagaimana cara kita menyikapi permasalahan tersebut? Bukankah salah satu
bentuk dari penjajahan dan keterjajahan adalah aspek ketergantungan?
Ketergantungan pada pola konsumsi yang konsumtif misalnya, ketergantungan pada
barang-barang impor, ketergantungan pada teknologi, ketergantungan pada sikap
orang lain, dan lain sebagainya.



Belajar dari Gandhi

Dalam menyikapi
permasalahan tersebut, ada baiknya kita bercermin sejenak dari apa yang pernah
dilakukan oleh Mahatma Gandhi yang punya nama asli Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948). Ia
pernah melakukan gerakan nonkooperatif terhadap penjajah inggris kala itu,
sebuah gerakan politik moral yang menekankan pada pemintalan benang. Sebuah
gerakan yang berdasarkan pada semangat ahimsa
yang berarti nir-kekerasan (non-violence) atau bisa pula diartikan cinta, yang
kemudian melahirkan pandangan swasembada
dan swadeshi.

Esensi dari
gerakan swasembada atau self-sufficiensy village adalah
kemampuan setiap desa atau beberapa desa untuk melakukan secara bersama-sama
proses produksi mengubah bahan mentah manjadi barang-barang yang bisa digunakan
untuk memenuhi kebutuhan primer mereka dan juga kebutuhan orang lain. Sementara
itu, swadeshi berarti bertumpu pada
kekuatan sendiri (self-reliance).
Bagi Gandhi, baik swadeshi maupun swasembada sangat erat kaitannya dengan swaraj yang berarti kebebasan, merdeka,
atau pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule).
Alasanya, pemerintah negeri sendiri mustahil tercapai tanpa bertumpu pada pada
kekuatan sendiri, baik secara fisik maupun mental.

Gandhi menjadikan
roda pintal menjadi simbol dalam gerakan ini. Kegiatan memintal barang
merupakan aktivitas harian wajid di ashram.
Aktivitas memintal benang merupakan sesuatu yang esensial dalam program
konstruktif dalam ajaran Gandhi. Memintal, menurut Gandhi, dapat mengurangi
tingkat kemiskinan India dan membuat kaum miskin mandiri secara ekonomi. Selain
dari keuntungan ekonomi, Gandhi melihat aktivitas memintal benang sebagai cara
yang efisien untuk mendisiplinkan massa yang merupakan esensi vital gerakan perlawanan
sipil tanpa kekerasan.



“Do it yourself”

Swasembada dan swadeshi model Gandhi dapat menjadi solusi alternative dari masalah
perekonomian Indonesia saat ini. Hanya model ini dapat dilakukan bila kita
memiliki pemahaman yang memadai tentang esensi pembebasan dari keterjajahan.
Sempitnya pemahaman pembebasan dari keterjajahan secara substansial menyebabkan
manusia sering diliputi oleh berbagai kepentingan duniawi semata. Melakukan
proses pembebasan atau swaraj berarti
melakukan swasembada dan swadeshi.

Dalam semangat swasembada dan swadeshi, berkarya dan bekerja bukan hanya urusan pertimbangan
ekonomi semata. Oleh karena itu, perubahan tatanan ekonomi misalnya, yang
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan manusiawi harus berpegang
pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan ditunjukan untuk kesejahteraan manusia. Di
mata Gandhi, kemampuan manusia berkerja dan berproduksi itu sangat luar biasa
dan menakjubkan.

Bagi Gandhi,
kehormatan manusia itu bisa dikaitkan dengan kehormatan kerjanya. Seseorang yang
tidak bisa menerima kerja sebagai kehormatan, dia sendiri tidak akan memiliki
kehormatan. Oleh karena itu, tidak boleh ada seseorang pun yang memiliki hak
untuk bebas bekerja dan berkarya. Jadi, tidak ada alasan bagi satu orang pun
untuk berpangku tangan hanya karena merasa dirinya masih muda.

Kita sangat
membutuhkan gagasan Gandhi karena dalam beberapa aspek kita tak bisa
menggunakan kekayaan sumber daya bagi kesejahteraan bersama. Konon, Indonesia
merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah ruah dari sabang
sampai merauke dan memiliki potensi sumber daya manusia yang sangat banyak
sekitar dua ratus jutaan. Namun dari jumlah yang banyak tersebut, kebanyakan
adalah pengangguran.

Ada sebuah
fenomena menarik akhir-akhir ini yang sengaja diekspose oleh salah satu stasiun
televisi swasta terkemuka di Indonesia, tentang sebuah bursa lowongan kerja
yang diadakan hanya untuk menempati 500 kursi, sedangkan peminatnya mencapai
puluhan ribu pelamar yang kebanyakan dari mereka itu adalah generasi muda.
Sebenarnya fenomena ini bukanlah fenomena yang luar biasa. Pasalnya, pada
setiap dibuka bursa lowongan kerja, tumpah ruahnya pelamar menjadi pemandangan
sehari-hari dalam setiap bursa lowongan kerja dimanapun di negeri ini
diadakanya.

Fenomena sosial
semacam ini, kiranya mampu mendorong generasi muda untuk berpikir kritis dan
bertindak secara praktis. Selama generasi muda masih beranggapan bahwa
pekerjaan hanya bisa dicari dan bukan diciptakan maka fenomena berdesak-desakan
di bursa lowongan kerja akan semakin meluber bagai luapan lumpur Lapindo
Brantas.

Kondisi ini akan
semakin sulit apabila kecenderungan life
style, baik pada generasi muda maupun masyarakat, umumnya terjebak pada
pola konsumerisme dan materialisme. Life
style ini menyebabkan orientasi hidup lebih terarah pada kepemilikan
benda-benda, bukan pada pola produktivitas karya dan kerja. Dengan kata lain,
konsumerisme akan menggerogoti kemandirian bangsa.

Namun di sisi
lain, diam-diam masih ada riak-riak kecil dari generasi muda yang dapat memberikan
harapan bagi munculnya kemandirian. Pada kalangan generasi muda terdapat
filosofi “Do it yourself”. Dari
filosofi tersebut kemudian melahirkan komunitas-komunitas generasi muda kreatif
seperti bermunculannya penerbit-penerbit buku baru yang digawangi oleh para
mahasiwa, clothing dan distro-distro yang awalnya sekedar
pemenuhan kebutuhan komunitasnya.

Perusahaan-perusahaan
rekaman yang berada dibawah kibaran indie
label, sebagai salah satu bentuk
perlawanan terhadap perusahaan major
label. Home industry-home industry
seperti kue atau penganan lainnya yang awalnya hanya pesanan tetangga, kemudian
berkembang menjadi komoditas wisata dan menjelma menjadi trade mark kotanya sendiri.

Semangat “Do it yourself” ini dalam beberapa hal
mirip dengan semangat swasembada dan swadeshi Gandhi. Bila semangat ini mampu
menggema dan menjalar sampai ke relung kalbu dan urat-urat nadi seluruh
generasi muda bangsa Indonesia, mungkin yang terjadi pada fenomena bursa
lowongan kerja tidak akan seperti sekarang, yang terjadi malah bursa lowongan
kerja sepi peminat, bahkan mereka tidak sempat lagi memikirkan untuk melamar
kerja. Generasi muda saat ini misalnya, lebih memilih untuk menciptakan
pekerjaannya sendiri ketimbang menggantungkan diri menjadi seorang pegawai atau
buruh dari sebuah perusahaan asing.

Ajaran Gandhi
sebenarnya bukanlah ajaran yang asing dan susah direalisasikan. Semua agama
mengajarkan kemandirian dan kesederhanaan. Bahkan dalam salah satu memoarnya,
Gandhi secara jujur mengakui kekagumannya pada ajaran Rasul Muhammad tentang
gaya hidup sederhana. Dalam Young India
1922, Gandhi menulis, “Saya ingin mengetahui tentang manusia paling berpengaruh
dalam hati jutaan umat manusia…. Saya semakin bertambah yakin bahkan kemenangan
yang didapat oleh Islam pada masa-masa itu bukanlah dari ayunan pedang.
Kemenangan itu buah dari kesederhanaan Nabi yang gigih. Keikhlasan Nabi yang
telah mencapai puncaknya, kehati-hatian terhadap semua amanat yang diembannya,
pengabdian yang mendalam terhadap para sahabat dan pengikutnya, keberanianya,
ketidaktakutannya, keyakinan yang sempurna terhadap Tuhan dan misinya. Inilah
semua dan bukanlah jalan pedang yang mengatasi semua halangan-halangan itu.
Ketika saya menyelesaikan bab kedua dari biografi sang Nabi, saya menyesal:
sudah tidak ada lagi kehidupan agung lain yang bisa saya pelajari.”

Bila Gandhi
dapat belajar dari kesederhanaan dan keagungan Rasul Muhammad, tentu saja
mayoritas umat Islam Indonesia juga dapat melakukannya secara lebih baik. Khairunnas anfa’uhum linnas.
(Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain)!*** by. rosihan fahmi. (Pikiran Rakyat, 2 Februari 2007)

Cerita ini sebenarnya sudah cukup lama kejadiaanya. Suatu ketika, ada sebuah pertanyaan iseng yang meluncur dari mulut seorang teman, katanya: “Mengapa
seekor keledai sering disebut-sebut sebagai binatang bodoh?”. Sejenakteman-teman yang hadir dalam obrolan disebuah warung kopi terdiam: heran (kok ada yah pertanyaan iseng kayak gini!), mengerutkan dahi (gak penting banget sih!), sampai akhirnya ada yang berusaha menanggapinya. “Mungkin, karena bisa
dilihat dari perilaku keledai yang selalu melakukan perbuatan bodoh yang sama, selalu terperosok kedalam lubang yang sama!”, timpal seorang teman
perempuan. Lalu, temanku yang menyodorkan pertanyaan langsung menyalip dengan ungkapan tidak sertuju. “Permasalahannya adalah mengapa harus keledai yang di cap sebagai binatang bodoh? Kasihan bangetkan!.”

Selang beberapa saat kemudian, akhirnya bermunculan komentar-komentar dari yang iseng sampai serius, dari yang cuma akal-akalan sampai ada yang menggunakan referensi dari kitab suci segala. Lucunya, temanku yang “peduli” pada keledai itu, dia sendiri enggak tau seperti apa binatang keledai itu. Dan bayangkan, obrolan kecil itu terjadi pada petang hari ditengah keramaian kota Bandung hingga toko-toko disekitarnya tutup.

Obrolan warung kopi. Obrolan ngalor ngidul. Namun tidak senyatanya demikian obrolan yang terjadi ketika itu. Kesan yang dirasakan adalah sebuah upaya pemenuhan diri, kaya akan khazanah intelektual dan spiritual. Sebuah obrolan ringan namun berbobot. Ringan kerena muncul dari pikiran-pikiran iseng dari keseharian, berbobot karena oborolan bergulir sampai mampu manusuk kesadaran diri.

Tidak mengherankan jika obrolan “konyol” nan berbobot itu bisa terjadi. Betapa tidak, masyarakat kini yang kian hari kian mekanis, terjerembab dalam rutinitas sehari-hari menyebabkan terjadinya kedangkalan, pengkeroposan kesadaran. Proses pemenuhan diri merupakan sifat lahiriah manusia asali yang senantiasa membutuhkan pemenuhan diri untuk bisa sampai pada wilayah spiritual.

Ngobrol merupakan salah satu media manusia bagaimana ia mencitrakan dirinya. Namun yang menjadi permasalahan disini dan sekarang adalah masih adakah ruang untuk pemenuhan tersebut?

Ditengah hingar bingar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang senyatanya membuat manusia semakin
“berjarak” bahkan dengan dirinya sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada satu sisi memang membuat hidup manusia menjadi lebih mudah. Komputer
jinjing, dan telepon seluler ditangan mampu mendekatkan keberjarakan antar
manusia. Namun untuk mendapatkan segala kemudahan tersebut (HP, Laptop, dll),
manusia terkadang harus menggadaikan atau bila perlu “menumbalkan” sebagaian
hidup bahkan dirinya sendiri kedalam jurang lautan yang “a humanis”.

Betapa tidak, manusia kebanyakan
saat ini semakin hari semakin mengurangi intensitasnya untuk saling
berinteraksi bertegur sapa, bercengkrama dengan sesama manusia. Pun kalau
terjadi, hanya pada tataran mekanis semata. Sepasang suami istri dalam sebuah
keluarga misalnya, bisa terjadi interaksi pabila sekadar untuk menyocokkan
jadwal bersama, ketika situasi manakala salah satu dari mereka sakit atau salah
satu dari anak mereka yang sakit, lebih parah jika ritual berinteraksi tersebut
hanya tersedia pada waktu weekend
atau pada saat hari raya. Manusia yang aneh.

Dalam ruang sosial yang lain
seperti dunia kerja misalnya, mungkin kejadiannya bisa lebih parah lagi.
Masyarakat kerja yang hanya terhimpun dalam sebuah aktivitas kerja, kegiatan
manusia tidak jauh beda dengan sistem mekanis saklar lampu: on/off. Pertemuan-pertemuan yang
diciptakan dalam ruang kerja hanya sebatas pemenuhan manusia sebagai homo labor. Tidak lebih dari itu. Dunia
kerja yang seperti itu hanya akan melahirkan ”keterasingan dunia”, yaitu
hilangnya dunia pengalaman dan tindakan yang dimiliki bersama. Sembari mengutip
seorang filsuf perempuan: Hannah Arendt, menurutnya kondisi tersebut akan mengakibatkan manusia
akan kesulitan untuk menemukan konfirmasi atas identitas diri dengan orang
lain. Maka semakin sulitlah kita untuk menemukan siap diri kita sesungguhnya.

Wilayah institusi pendidikan
seperti, sekolah atau universitas idealnya memang mampu memberikan ruang yang
seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya dalam upaya pemenuhan hasrat “ngobrol” ini.
Namun yang terjadi, tidak jauh beda dengan wilayah-wilayah sebelumya, yakni
ruang keluarga dan kerja.

Para siswa maupun
mahasiswa tidak sedikit yang hanya terjebak pada mekanisme dan rutinitas kebijakan
institusi. Belajar hanya sekadar rutinitas kegiatan untuk mendapatkan nilai dan
prestasi, dengan tidak mengindahkan bagaimana mendalami dan menghayati proses
belajar.

Lalu bagaimana? Adakah alternatif
lain untuk pemenuhan hasrat “ngobrol” yang ringan namun berbobot? Bagi sebagian
kalangan pelajar dan mahasiswa, hal seperti ini sesungguhnya bukanlah barang
baru. Mereka bisa temui dan ciptakan ruang-ruang “ngobrol” dalam berbagai
media. Mulai dari komunitas yang real
sampai ruang komunitas virtual reality.
Demikian pun, bagi masyarakat yang sudah akrab dengan dunia teknologi internet,
semuanya telah tersedia. Namun apakah dengan segala kemudahan dan ketersediaan
media teknologi mampu menghadirkan dan memenuhi “kesadaran” hasrat subtil
manusia tersebut?

Adanya sebuah pertemuan yang real; bertatap mata, saling tukar
bicara, berbagi tempat duduk, minuman dan makanan, saling menghargai pendapat
dan penyangkalan, humor yang mengundang canda tawa, berpelukan dan saling
berjabatan tangan dengan balutan obrolan yang hangat dan bersahabat menjadi
elternatif satu-satunya.

Memberikan ruang yang lapang
dalam setiap pertemuan yang intenslah sesungguhnya, manusia akan semakin
menemukan “kediriannya”. Tidak ada ruang lain, selain satu sama lain berusaha
saling membukakan diri dalam setiap pertemuannya, baik di rumah, sekolah,
universitas, ruang kerja, bahkan ruang ibadah sekalipun. Dengan demikian,
keterjebakan manusia dalam mekanisme rutinitas dunia lambat laun akan semakin
terangkat, manusia akan kembali kepada kemanusiaannya yang hakiki, sebagai
mahluk yang layak diandalkan sebagai khalifah, dimanapun ia berada.

Untuk mendapatkan kesadaran
tersebut, bukanlah sesuatu yang rumit. Semuanya ada disekitar kita, ada dalam
keseharian, bahkan dalam diri kita sendiri. Mengawali hidup dengan bertanya
terlebih dahulu, bahkan dengan sebuah pertanyaan yang terdengar bodoh sekalipun,
barangkali akan lebih baik ketimbang berlari-lari mengejar bis kota, tanpa
pernah tau bis arah mana yang sedang kita kejar. Pertanyaan bukanlah sebuah
ukuran. Demikian pun lebel bodoh yang kadung nempel pada hewan seperti keledai.

Keledai mungkin, bukanlah
binatang bodoh. Kebodohan hanya ada dalam pikiran. Sementara pikiran hanyalah
milik manusia. Tuhan telah menjadikan keledei sebagai metaphor bagi manusia. Jika
ada manusia yang berilmu, perpengetahuan, dan berpendidikan namun tidak pernah
mengamalkan, mempraktekkan apalagi untuk kebaikan segenap kebaikan alam
semesta, khususnya untuk manusia, maka tindakan tersebut sama halnya dengan “seekor
keledai yang hanya mampu memikul tumpukan buku-buku dan kitab-kitab di
pundaknya tanpa bisa menggunakannya.(Lihat, Q.S. 62:5). Lalu siapa sesungguhnya
yang bodoh? Manusia apa keledai?. by. rosihan fahmi.

Pembaca yang
budiman mungkin sudah sangat akrab dengan tontonan film-film kartun, yang
sering disajikan di hampir seluruh stasiun televisi di Indonesia.Sebuah tontonan yang
sering dianggap ringan nan menghibur bahkan dikategorikan sebagai tontonan
anak-anak yang tidak membutuhkan bimbingan orang tua dewasa. Sebut saja seperti
film kartun “Tom & Jerry”: Sebuah film kartun yang mengisahkan aksi
kejar-kejaran yang tiada henti antara sosok tikus kecil dan si kucing penjaga
rumah. “Sinchan“: Film kartun Jepang yang mengisahkan sosok seorang anak lelaki
mungil, murid dari salah satu Taman Kanan-kanak di Jepang yang pernah menjadi film kartun kontroversial di Indonesia. Tidak
jarang kalau kemudian tokoh-tokoh kartun itu kemudian menjadi tokoh favorit
atau malahan menjadi panutan (idola) anak-anak. Banyak lagi sejumlah film-film
kartun saat ini seperti keluaran Walt Disney, Niklodeon, dan film-film kartun
produksi Jepang yang telah menjadi bagian keseharian konsumsi anak-anak di
Negeri ini.

Film kartun
merupakan sebuah produk budaya masyarakat modern yang keberadaannya mampu
melampaui banyak generasi. Hampir mirip dengan produk budaya masyarakat
primitif dengan patung-patung, relief-relief, atau arca-arca yang juga mampu
melampaui peradaban. Meskipun dari masing-masing produk budaya tersebut
memiliki nilai-nilai yang sebenarnya tidak bisa diperbandingkan, karena memang
dari tujuan, semangat, kontekstualitas dan keperuntukannya yang berbeda. Namun
dalam dua hal tersebut (kartun sebagai produk modern, dan relief sebagai produk
primitif misalnya) memiliki garis merah sebagai bagian dari produk manusia. Sebagai
produk dari hasil ikhtiar manusia dalam merenungkan diri dan alam sekitarnya.

Tontonan film kartun
yang sering dianggap (bahkan disepelekan) sebagai tontonan anak-anak yang belum
dewasa oleh sebagian masyarakat di Negeri ini, mungkin karena berawal dari
asumsi bahwa film kartun bukan berasal dari dunia nyata (dunia manusia)
sehingga dianggap berjarak dengan keseharian manusia. Seperti kegiatan menonton
harimau di kebun binatang. Antara manusia dan harimau dibatasi dengan
kerangkeng. Aman!…toh harimau itu dikerangkeng dan tidak mungkin menggigit
atau menerkam anak-anak manusia yang sedang asyik menontonnya.

Berbeda dengan penyikapan
masyarakat yang menganggap dirinya dewasa ketika anak-anaknya sedang menonton
tayangan-tayangan yang bersifat nyata seperti film-film aksi, drama, sinetron, reality show, atau tayangan olah raga
seperti Smack Down, yang akhir-akhir ini
telah dianggap sebagai pemicu munculnya banyak korban (anak-anak) yang telah
menirukan adegan-adegan dalam tayangan tersebut, yang jelas-jelas
di/membutuhkan bimbingan atau tuntunan (guide)
dalam menikmatinya, malah sering luput disikapi secara serius. Manusia malas
untuk berpikir panjang untuk bisa melihat efek dari suatu kegiatan, sehingga
kalau sudah ada yang kena batunya –mati-baru ada tindakan.

Film kartun atau
animasi yang saat ini sedang populer, merupakan sebuh tontonan yang sering
dianggap tidak jauh dari sekadar hiburan belaka. Padahal kalau dicermati,
secara seksama dalam banyak adegannya sering mempertontonkan hal-hal yang berada
diluar nalar (akal sehat), bahkan orang dewasa pun akan mendapatkan kesulitan
dalam menjelaskan setiap adegan-adegannya. Dalam banyak adegan film-film
kartun, memang sering mengusung tema-tema yang bersifat kemanusiaan atau keseharian
manusia, seperti: persahabatan, percintaan, kekeluargaan, kepeduliaan,
kepahlawanan, dan lain sebagainya. Mungkin pesan-pesan seperti inilah yang diharapkan
dari orang-orang dewasa dengan membiarkan anak-anaknya untuk menyaksikan
tontonan film kartun tanpa bimbingan orang dewasa, selain karena media kartun
dianggap lucu, menghibur, dan efektif dalam menyampaikan pesan-pesan
kemanusiaan/kedewasaan kepada anak-anaknya.

Berpikiran positif (Positive Thinkink), seolah menjadi
tameng pembenaran dalam setiap menikmati tontonan film termasuk film kartun
atau animasi. Jarang kemudian orang sadar bahwa dalam adegan film kartun pun
sering tampak menyuguhkan adegan-adegan berbahaya ketimbang kelucuan. Sebut
saja adegan-adegan jahil (term yang cukup lembut untuk menggantikan term jahat
atau bahkan sadis) dalam Film “Tom & Jerry”, adegan “tolong menolong” antara
tokoh Nobita dan Doraemon (term yang cukup lembut juga untuk menggantikan term
ketergantungan, manja dan konsumtif) dalam tayangan film “Doraemon”, dan lain sebagainya. Berpikiran negatif (Negative Thinkink) seolah telah menjadi
pola pikir yang dibungkam, dilarang atau bahkan mungkin diharamkan. Mengapa demikian?
Karena orang dewasa sendiri tidak pernah menyikapi film-film kartun itu sebagai
suatu film yang mengerikan, sarat dengan adegan-adegan kekerasan,
diskriminatif, rasis, brutal, jahat, sadis, dan nilai-nilai yang bersifat
negatif lainnya (Negative Thinkink).
Coba tengok, kemudian cermati bagaimana seringnya divisualisasikan dalam
film-film kartun itu misalnya sampai-sampai ada adegan sang tokoh kartun yang
lari terbirit-birit sampai mampu menembus tembok-tembok dengan meninggalkan
jejak postur tubuhnya. Jatuh dari gedung yang entah dari ketinggian berapa
lantai, di tembak, di bom, di tendang sampai ke bulan. Semua adegan itu
ditampilkan tanpa pernah berdarah-darah, luka-luka (melukai orang lain),
apalagi menyebabkan kematian, karena dalam dunia “Tom & Jerry” (dunia
kartun) unsur kematian tidak berlaku. Bagaimana jika hal seperti ini juga
ditiru oleh anak-anak? Karena ini semua telah terlanjur dianggap hanyalah
sekadar tontonan anak-anak yang menghibur, lucu, dan mampu mengundang tawa!?…Apakah
kita akan menunggu lagi sampai ada jatuh korban? Atau kita akan membimbing
mereka dengan rasa cinta yang tulus nan ikhlas?…

Apapun yang terjadi
dalam setiap adegan-adegan film kartun atau animasi, pesan apapun yang hendak
disampaikan oleh sang penciptanya, dan pesan apapun yang kemudian di/keterima
oleh para penikmat tayangan film kartun, hanya ada satu ekspresi atau sensasi
yang bersifat universal dalam mengalami setiap menonton film kartun atau
animasi yaitu lucu!…Lucu karena menghibur dan bisa membuat orang tertawa
terbahak-bahak. Tanpa sadar perilaku dalam dunia kartun telah merasuki pikiran,
menjalar melalui darah-darah, dan bernaung disetiap jengkal urat nadi, manjadi
bagian dari keseharian manusia sendiri.

Dalam film kartun
yang sering menampilkan sosok-sosok hewan sebagai tokoh utama adalah merupakan
ironi tersendiri bagi manusia yang menyaksikannya, tidak sekadar mampu
menimbulkan sensasi tawa, namun mampu merefleksikannya secara manusiawi atau
bathini. Perumpamaan-perumpamaan atau analogi, yang dalam hal ini adalah
manusia yang disulap menjadi hewan kartun, bukanlah sebuah produk yang tanpa
akar sejarah. Sebut saja akar sejarah yang berasal dari Kitab Suci, misalnya
dalam Al-Quran sering ditemukan bagaimana sosok hewan seperti: lebah, semut,
keledai, monyet, dan lain sebagainya dijadikan sebagai hikmah, atau pelajaran bagi manusia. Bahkan, dalam salah satu ayat Al-Quran
disebutkan kalau tabiat manusia itu kadangkala melampaui hewan, bahkan lebih
sesat atau rendah ketimbang sifat-sifat hewan itu sendiri.

Hiruk pikuk manusia
masa kini dalam kesehariannya, pabila diperhatikan mungkin nasibnya akan sama
seperti yang terjadi dalam film-film kartun itu: ditertawakan. Sang pemerhati akan
tertawa terpingkal-pingkal pabila melihat/menonton sikap dan tindak-tanduk
sehari-hari manusia saat ini. Layaknya komentator bola, dengan bebas dan
lepasnya bisa memberikan pendapat tentang ini dan itu bagaimana bermain bola
yang baik, cantik dan fair play.
Namun sayang…sensasi tersebut sering ter/dibungkam, ter/dimanipulasikan dalam
ketidaksadaran manusia (yang berperan ganda sekaligus: subjek-objek) karena
manusia larut dalam dunianya. Selain itu kadangkala kegiatan tertawa atau
menertawakan kadang disikapi sebagai sesuatu yang mencemoohkan bahkan subversif
kertimbang disikapi sebagai kritik kesadaran atas kemanusiaannya (untuk tidak
menyebutkan manusia bodoh, tolol, kekanak-kanakan, atau tidak berpendidikan).
Manusia saat ini sering berlindung dari “kebenarannya” sendiri. Mirip seperti
nilai-nilai yang terkandung dalam film-film kartun. Kalau tidak keluar dari
nalar yang sifatnya common sense film
itu menjadi tidak seru lagi. “Kalau cuma makan gaji, mana cukup buat hidup
sehari-hari!”. “Kalau tidak melanggar aturan lalu lintas, bisa-bisa terlambat
kerja!”. “Kalau dengan satu kali pergi Haji bisa dianggap telah sempurna atau
menyempurnakan dalam menjalankan Rukun Islam, apalagi kalau berkali-kali!…”

“Selamat datang di
Negeri Kartun!…”di negeri ini hal yang tidak mungkin terjadi, bisa terjadi.
Di “Negeri Kartun”: Sesuatu yang dilarang bisa dilanggar, sesuatu yang bermakna
bisa menjadi tidak bermakna, sesuatu yang sakral bisa menjadi guyonan, yang
haram bisa menjadi halal, yang benar bisa menjadi salah, bahkan di negeri
kartun ini Tuhan pun layak untuk ditertawakan. “Negeri Kartun” adalah suatu
negeri yang tidak mengenal batas-batas nalar dan nilai—apapun boleh dan bisa
dilakukan. Rakyat-rakyat di “Negeri Kartun” tidak pernah mengenal lelah, dan
tidak pernah mengenal kata mati. “Negeri Kartun” adalah sebuah negeri yang
patut dan layak untuk ditertawakan. “Selamat datang di Negeri Kartun!…” (by.rosihan
fahmi)

Lewis Mumford penulis The City in History meramalkan kehancuran peradaban kota-kota besar di dunia Barat. Baginya megapolis adalah jalan menuju necropolis, kota kematian, dimana “daging menjadi debu dan kehidupan menjadi pilar garam yang tak berarti”. Meskipun pada waktu menulis bukunya New York-lah yang ada dalam benak Mumford. (Jurnal Kalam, No.19, 2002).


New York, Tokyo, Amsterdam, Jakarta dan sekitarnya merupakan prototype kota-kota metropolitan kata lain dari megapolis. Kota metropolis atau megapolis identik dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang nan tinggi. Seperti Kota Jakarta yang dulu pernah terkenal dengan Tugu Monumen Nasional (Monas), begitu juga di masa lampau pernah ada kota Babilonia yang terkenal dengan Menara Babelnya. Namun kini Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia, jadi lebih identik dengan bencana banjir musiman.

Padahal, belum hilang dalam ingatan kita peristiwa-peristiwa seperti: bencana badai Tsunami di Aceh, Nias, Sumatera dan Pantai Pangandaran Jawa Barat. Gempa di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Semburan Lumpur PT. Lapindo Brantas. Belum lagi kecelakaan-kecelakaan alat transportasi umum darat, laut, maupun udara. Sebut saja kecelakaan pesawat Adam Air, KM. Senopati, kereta api-kereta api anjlok bahkan ada yang sampai terperosok ke jurang. Belum termasuk sederetan daftar bencana-bencana lainnya yang terjadi di belahan negeri ini.


Bencana alam yang mendera bangsa dan negara kita seolah tiada pernah kenal kata bosan. Bencana alam tak pernah kenal kompromi. Hal ini bisa terjadi kapan dan di mana saja. Apa yang sebenarnya terjadi dibalik semua bencana ini? Adakah yang tidak beres dengan alam atau para penghuninya? Namun bagaimana kalau yang menjadi faktor dominan dari semua bencana itu adalah justru manusia sendiri?.


Sheng-sheng-pu-yi

Persoalan bencana, tidak akan pernah cukup hanya dengan menggalang dana bantuan untuk meringankan beban penderitaan saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Juga, tidak akan pernah selesai hanya dengan menyalahkan salah satu pihak dengan cara mengkambing hitamkan instansi maupun daerah lain. Dalam hal ini, pemerintah pusat, dan Kota Bogor yang sering menjadi sorotan setiap kali Jakarta dan sekitarnya terendam banjir, dengan istilah banjir kiriman.


Mungkin kita faham, bahwa sering terjadinya bencana alam tidak akan pernah luput dari bagaimana manusia itu sendiri menyikapi alam. Manusia-manusia saat ini yang tengah menganut modernisme, tanpa disadarinya secara utuh bahwa perbuatannya terhadap lingkungan hanya semata-mata memperlakukan alam sebagai objek. Lingkungan hanya dipahami sebatas pohon, gunung pasir, sungai, laut, tanah, sebagai benda mati yang pasif. Pabila kita mau berhenti sejenak, dan memikirkan kembali apa yang telah kita perbuat pada alam, bahwa sesungguhnya lingkungan alam memiliki struktur dalam seperti yang ditujukan konsep Tao.


Dalam paradigma filsafat Cina, Sheng-sheng-pu-yi berarti “aktivitas yang tak putus-putus dari daya cipta kehidupan.” Sheng-sheng berasal dari Lampiran Besar dari I Ching, bag.5, yang menyebutkan bahwa Sheng-sheng disebut perubahan. “Pu-yi” berasal dari Book of Poetry dalam “Chou Shung,” yang mengatakan bahwa “Amanat surga memang mendalam dan tak terputus (pu-yi).” Tao secara universal dipahami oleh para filsuf kuno sebagai proses perubahan dan transformasi yang universal seperti juga sumber asli dari segala bentuk kehidupan di dunia. Artinya, tanpa kita mampu memahami kehidupan dan proses hidup dari kehidupan, kita tidak akan dapat memahami makna kedalaman dari lingkungan alam termasuk dari fenomena-fenomena bencana alam.







Pemerintah, Masyarakat, dan Alam.



Seperti peristiwa yang baru-baru terjadi, ketika masyarakat Jakarta dan sekitarnya tertimpa bencana banjir, sekumpulan mahasiswa berbondong-bondong melakukan demonstrasi meneriakan ketidakbecusan pemerintah dalam menanggulangi bencana. Meski masih terlihat ada beberapa public figure, ormas, dan aparat pemerintah setempat maupun pusat beramai-ramai menceburkan diri dalam genangan air banjir untuk menolong sembari membagikan sandang dan pangan untuk kebutuhan para korban bencana.


Sungguh ironis, pabila kita mau merunut siapa pemerintah itu sebenarnya. Pemerintah tiada lain adalah merupakan bagian dari masyarakat kita sendiri, sebagai manusia-manusia terpilih. Pemerintah setingkat RT, RW, Lurah, bahkan President sekalipun, kita sendirilah yang memilih dan menentukan mereka untuk dijadikan sebagai pemimpin, manusia yang dipercaya untuk mengemban.


Dalam kenyataannya, kita kadang suka menunjuk hidung para pemerintah sebagai manusia-manusia yang tidak amanah. Benarkah demikian? Lalu bagaimana dengan keputusan kita sendiri saat memilih mereka? Apakah kita sewaktu memilih berlandaskan amanah, dan sesuai dengan hati nurani? Bukankah pemimpin yang dipilih merupakan cerminan diri dari sang pemilih? Artinya, ketika kita mencaci maki, melakukan hujatan dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi, bahkan merusak dan menghancurkan fasilitas kantor pemerintahan, bukankah itu sama artinya dengan kita mencacimaki, murka pada diri kita sendiri, dan berarti menghancurkan “rumah” kita sendiri.


Bencana yang menimpa bangsa dan negara kita bukanlah hanya derita pemerintah semata, namun derita kita semua. Kita sering lupa, kalau kita sendiri masih terbiasa dengan membuang sampah sembarangan, membangun rumah ditempat resapan air, menggunakan parfum yang mampu menyebabkan lapisan ozon semakin menipis, menggunakan kendaraan motor secara berlebihan, menjadikan sungai dan lautan sebagai tempat pembuangan, menebang pohon tanpa pernah mau menanamnya kembali, penambangan pasir yang menyebabkan hilangnya bukit-bukit, dan perilaku-perilaku buruk lainnya yang mampu menyebabkan alam menjadi semakin tidak bersahabat lagi dengan manusia.

Namun demikian yang dalam kenyataanya, seringkali yang menjadi sasaran tembak dibalik bencana semua ini adalah pemerintah serlain faktor alam. Pemerintah sebagai aparatur negara yang memiliki wewenang dan tanggungjawab dalam mengambil kebijakan dan sikap untuk mengatur roda kehidupan, seolah menjadi ujung tombak keberhasilan suatu pemerintahan dalam mewujudkan visi dan misi suatu masyarakat atau bangsa. Artinya, baik-buruknya suatu tatanan masyarakat atau negara sangatlah tergantung sekali pada kebijakan pemerintah.







Keseimbangan Alam.


Belajar melalui filsafat Cina dalam menyikapi masalah lingkungan, ada dua aspek penting yang dapat kita ambil. Pertama, lingkungan alam termasuk manusia merupakan proses produksi dan reproduksi kehidupan yang berkelanjutan. Dengan pemahaman ini manusia tidak bisa memperlakukan alam sebagai bagian yang terasing dan atomis tanpa memperhatikan keseluruhan yang termasuk masa lalu dan masa depan. Kedua, manusia harus mempertimbangkan banyak level pendekatan untuk menghubungkan kebutuhan-kebutuhan potensial manusia dengan alam. Manusia harus meng-alam-kan manusia seperti juga memanusiakan alam. Memahami Tao adalah inti dari etika tentang lingkungan; juga merupakan cara untuk mentransformasikan kepalsuan dan ketidakalamian pengetahuan dan peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi, ke dalam spontanitas dan kealamian dari Tao.






Kita sering lupa dan dilupakan oleh kehidupan kita sehari-hari. Baiknya kita segera “kembali ke lap top”. Bukankah Tuhan telah menggariskan bahwa:”Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-yumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kamu yang memikirkan.” (Q.S. 16:10-11).


Namun, jika bencana ini memang bagian dari kehendak Sang Maha Kuasa, maka tiada kata lain selain sepatutnyalah kita harus semakin mendekatkan diri pada-Nya. Agar kita senantiasa tabah, sabar, ikhlas, dan kuat dalam menghadapi dan bijak dalam menyikapinya. Kitalah sebenar-benarnya orang terpilih itu, yang dikasihi dan disayangi oleh Allah. Bila kita yakin! Jangan khawatir, Allah telah berjanji pada umat-Nya: ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”(Q.S. 2:286). Amin Ya Rabbal Alamin.


(by. rosihan fahmi)

Hujan baru saja datang. Ini adalah kali
pertama ia datang lagi, setelah sekian lama tak pernah muncul. Kehadirannya menebarkan
aroma bau tanah kering yang khas, setelah sekian lama tidak kedatangan hujan.
Hujan baru saja datang. Saat itu hari sudah menjelang sore. Pelangi pun tampak
ditengah langit biru yang dikerumuni awan putih dan hitam pudar. Namun, pelangi
tak pernah bertahan lama. Ia pun menghilang seiring matahari yang tertelan
senja. Hujan baru saja datang.



Saat pagi, cuaca terasa panas terik. Langit hanya dihiasi sedikit
awan-awan putih yang nampak tenang nun jauh disana. Padahal mesin waktu baru
menunjukkan pukul sembilan pagi. Kemeja yang kukenakan ditengah himpitan
penumpang kereta api listrik basah kuyup sudah. Semprotan parfum yang
kusemburkan keseluruh pakaian dan urat-urat nadiku tak kuasa membendung bau
keringat yang telah bercampur dengan keringat sesama penumpang kereta api
listrik. Kini kurasa pengap.



Enam hari sudah hujan tak kunjung kembali.
Aku merindukannya. Sungguh aku merindukannya. Tapi…mengapa aku selalu
merindukan hujan?…apa hujan juga selalu merindukanku?

(by. rosihan fahmi)

About this blog

Pengikut