Lewis Mumford penulis The City in History meramalkan kehancuran peradaban kota-kota besar di dunia Barat. Baginya megapolis adalah jalan menuju necropolis, kota kematian, dimana “daging menjadi debu dan kehidupan menjadi pilar garam yang tak berarti”. Meskipun pada waktu menulis bukunya New York-lah yang ada dalam benak Mumford. (Jurnal Kalam, No.19, 2002).


New York, Tokyo, Amsterdam, Jakarta dan sekitarnya merupakan prototype kota-kota metropolitan kata lain dari megapolis. Kota metropolis atau megapolis identik dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang nan tinggi. Seperti Kota Jakarta yang dulu pernah terkenal dengan Tugu Monumen Nasional (Monas), begitu juga di masa lampau pernah ada kota Babilonia yang terkenal dengan Menara Babelnya. Namun kini Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia, jadi lebih identik dengan bencana banjir musiman.

Padahal, belum hilang dalam ingatan kita peristiwa-peristiwa seperti: bencana badai Tsunami di Aceh, Nias, Sumatera dan Pantai Pangandaran Jawa Barat. Gempa di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Semburan Lumpur PT. Lapindo Brantas. Belum lagi kecelakaan-kecelakaan alat transportasi umum darat, laut, maupun udara. Sebut saja kecelakaan pesawat Adam Air, KM. Senopati, kereta api-kereta api anjlok bahkan ada yang sampai terperosok ke jurang. Belum termasuk sederetan daftar bencana-bencana lainnya yang terjadi di belahan negeri ini.


Bencana alam yang mendera bangsa dan negara kita seolah tiada pernah kenal kata bosan. Bencana alam tak pernah kenal kompromi. Hal ini bisa terjadi kapan dan di mana saja. Apa yang sebenarnya terjadi dibalik semua bencana ini? Adakah yang tidak beres dengan alam atau para penghuninya? Namun bagaimana kalau yang menjadi faktor dominan dari semua bencana itu adalah justru manusia sendiri?.


Sheng-sheng-pu-yi

Persoalan bencana, tidak akan pernah cukup hanya dengan menggalang dana bantuan untuk meringankan beban penderitaan saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Juga, tidak akan pernah selesai hanya dengan menyalahkan salah satu pihak dengan cara mengkambing hitamkan instansi maupun daerah lain. Dalam hal ini, pemerintah pusat, dan Kota Bogor yang sering menjadi sorotan setiap kali Jakarta dan sekitarnya terendam banjir, dengan istilah banjir kiriman.


Mungkin kita faham, bahwa sering terjadinya bencana alam tidak akan pernah luput dari bagaimana manusia itu sendiri menyikapi alam. Manusia-manusia saat ini yang tengah menganut modernisme, tanpa disadarinya secara utuh bahwa perbuatannya terhadap lingkungan hanya semata-mata memperlakukan alam sebagai objek. Lingkungan hanya dipahami sebatas pohon, gunung pasir, sungai, laut, tanah, sebagai benda mati yang pasif. Pabila kita mau berhenti sejenak, dan memikirkan kembali apa yang telah kita perbuat pada alam, bahwa sesungguhnya lingkungan alam memiliki struktur dalam seperti yang ditujukan konsep Tao.


Dalam paradigma filsafat Cina, Sheng-sheng-pu-yi berarti “aktivitas yang tak putus-putus dari daya cipta kehidupan.” Sheng-sheng berasal dari Lampiran Besar dari I Ching, bag.5, yang menyebutkan bahwa Sheng-sheng disebut perubahan. “Pu-yi” berasal dari Book of Poetry dalam “Chou Shung,” yang mengatakan bahwa “Amanat surga memang mendalam dan tak terputus (pu-yi).” Tao secara universal dipahami oleh para filsuf kuno sebagai proses perubahan dan transformasi yang universal seperti juga sumber asli dari segala bentuk kehidupan di dunia. Artinya, tanpa kita mampu memahami kehidupan dan proses hidup dari kehidupan, kita tidak akan dapat memahami makna kedalaman dari lingkungan alam termasuk dari fenomena-fenomena bencana alam.







Pemerintah, Masyarakat, dan Alam.



Seperti peristiwa yang baru-baru terjadi, ketika masyarakat Jakarta dan sekitarnya tertimpa bencana banjir, sekumpulan mahasiswa berbondong-bondong melakukan demonstrasi meneriakan ketidakbecusan pemerintah dalam menanggulangi bencana. Meski masih terlihat ada beberapa public figure, ormas, dan aparat pemerintah setempat maupun pusat beramai-ramai menceburkan diri dalam genangan air banjir untuk menolong sembari membagikan sandang dan pangan untuk kebutuhan para korban bencana.


Sungguh ironis, pabila kita mau merunut siapa pemerintah itu sebenarnya. Pemerintah tiada lain adalah merupakan bagian dari masyarakat kita sendiri, sebagai manusia-manusia terpilih. Pemerintah setingkat RT, RW, Lurah, bahkan President sekalipun, kita sendirilah yang memilih dan menentukan mereka untuk dijadikan sebagai pemimpin, manusia yang dipercaya untuk mengemban.


Dalam kenyataannya, kita kadang suka menunjuk hidung para pemerintah sebagai manusia-manusia yang tidak amanah. Benarkah demikian? Lalu bagaimana dengan keputusan kita sendiri saat memilih mereka? Apakah kita sewaktu memilih berlandaskan amanah, dan sesuai dengan hati nurani? Bukankah pemimpin yang dipilih merupakan cerminan diri dari sang pemilih? Artinya, ketika kita mencaci maki, melakukan hujatan dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi, bahkan merusak dan menghancurkan fasilitas kantor pemerintahan, bukankah itu sama artinya dengan kita mencacimaki, murka pada diri kita sendiri, dan berarti menghancurkan “rumah” kita sendiri.


Bencana yang menimpa bangsa dan negara kita bukanlah hanya derita pemerintah semata, namun derita kita semua. Kita sering lupa, kalau kita sendiri masih terbiasa dengan membuang sampah sembarangan, membangun rumah ditempat resapan air, menggunakan parfum yang mampu menyebabkan lapisan ozon semakin menipis, menggunakan kendaraan motor secara berlebihan, menjadikan sungai dan lautan sebagai tempat pembuangan, menebang pohon tanpa pernah mau menanamnya kembali, penambangan pasir yang menyebabkan hilangnya bukit-bukit, dan perilaku-perilaku buruk lainnya yang mampu menyebabkan alam menjadi semakin tidak bersahabat lagi dengan manusia.

Namun demikian yang dalam kenyataanya, seringkali yang menjadi sasaran tembak dibalik bencana semua ini adalah pemerintah serlain faktor alam. Pemerintah sebagai aparatur negara yang memiliki wewenang dan tanggungjawab dalam mengambil kebijakan dan sikap untuk mengatur roda kehidupan, seolah menjadi ujung tombak keberhasilan suatu pemerintahan dalam mewujudkan visi dan misi suatu masyarakat atau bangsa. Artinya, baik-buruknya suatu tatanan masyarakat atau negara sangatlah tergantung sekali pada kebijakan pemerintah.







Keseimbangan Alam.


Belajar melalui filsafat Cina dalam menyikapi masalah lingkungan, ada dua aspek penting yang dapat kita ambil. Pertama, lingkungan alam termasuk manusia merupakan proses produksi dan reproduksi kehidupan yang berkelanjutan. Dengan pemahaman ini manusia tidak bisa memperlakukan alam sebagai bagian yang terasing dan atomis tanpa memperhatikan keseluruhan yang termasuk masa lalu dan masa depan. Kedua, manusia harus mempertimbangkan banyak level pendekatan untuk menghubungkan kebutuhan-kebutuhan potensial manusia dengan alam. Manusia harus meng-alam-kan manusia seperti juga memanusiakan alam. Memahami Tao adalah inti dari etika tentang lingkungan; juga merupakan cara untuk mentransformasikan kepalsuan dan ketidakalamian pengetahuan dan peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi, ke dalam spontanitas dan kealamian dari Tao.






Kita sering lupa dan dilupakan oleh kehidupan kita sehari-hari. Baiknya kita segera “kembali ke lap top”. Bukankah Tuhan telah menggariskan bahwa:”Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-yumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kamu yang memikirkan.” (Q.S. 16:10-11).


Namun, jika bencana ini memang bagian dari kehendak Sang Maha Kuasa, maka tiada kata lain selain sepatutnyalah kita harus semakin mendekatkan diri pada-Nya. Agar kita senantiasa tabah, sabar, ikhlas, dan kuat dalam menghadapi dan bijak dalam menyikapinya. Kitalah sebenar-benarnya orang terpilih itu, yang dikasihi dan disayangi oleh Allah. Bila kita yakin! Jangan khawatir, Allah telah berjanji pada umat-Nya: ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”(Q.S. 2:286). Amin Ya Rabbal Alamin.


(by. rosihan fahmi)

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Pengikut