Cerita ini sebenarnya sudah cukup lama kejadiaanya. Suatu ketika, ada sebuah pertanyaan iseng yang meluncur dari mulut seorang teman, katanya: “Mengapa
seekor keledai sering disebut-sebut sebagai binatang bodoh?”. Sejenakteman-teman yang hadir dalam obrolan disebuah warung kopi terdiam: heran (kok ada yah pertanyaan iseng kayak gini!), mengerutkan dahi (gak penting banget sih!), sampai akhirnya ada yang berusaha menanggapinya. “Mungkin, karena bisa
dilihat dari perilaku keledai yang selalu melakukan perbuatan bodoh yang sama, selalu terperosok kedalam lubang yang sama!”, timpal seorang teman
perempuan. Lalu, temanku yang menyodorkan pertanyaan langsung menyalip dengan ungkapan tidak sertuju. “Permasalahannya adalah mengapa harus keledai yang di cap sebagai binatang bodoh? Kasihan bangetkan!.”

Selang beberapa saat kemudian, akhirnya bermunculan komentar-komentar dari yang iseng sampai serius, dari yang cuma akal-akalan sampai ada yang menggunakan referensi dari kitab suci segala. Lucunya, temanku yang “peduli” pada keledai itu, dia sendiri enggak tau seperti apa binatang keledai itu. Dan bayangkan, obrolan kecil itu terjadi pada petang hari ditengah keramaian kota Bandung hingga toko-toko disekitarnya tutup.

Obrolan warung kopi. Obrolan ngalor ngidul. Namun tidak senyatanya demikian obrolan yang terjadi ketika itu. Kesan yang dirasakan adalah sebuah upaya pemenuhan diri, kaya akan khazanah intelektual dan spiritual. Sebuah obrolan ringan namun berbobot. Ringan kerena muncul dari pikiran-pikiran iseng dari keseharian, berbobot karena oborolan bergulir sampai mampu manusuk kesadaran diri.

Tidak mengherankan jika obrolan “konyol” nan berbobot itu bisa terjadi. Betapa tidak, masyarakat kini yang kian hari kian mekanis, terjerembab dalam rutinitas sehari-hari menyebabkan terjadinya kedangkalan, pengkeroposan kesadaran. Proses pemenuhan diri merupakan sifat lahiriah manusia asali yang senantiasa membutuhkan pemenuhan diri untuk bisa sampai pada wilayah spiritual.

Ngobrol merupakan salah satu media manusia bagaimana ia mencitrakan dirinya. Namun yang menjadi permasalahan disini dan sekarang adalah masih adakah ruang untuk pemenuhan tersebut?

Ditengah hingar bingar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang senyatanya membuat manusia semakin
“berjarak” bahkan dengan dirinya sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada satu sisi memang membuat hidup manusia menjadi lebih mudah. Komputer
jinjing, dan telepon seluler ditangan mampu mendekatkan keberjarakan antar
manusia. Namun untuk mendapatkan segala kemudahan tersebut (HP, Laptop, dll),
manusia terkadang harus menggadaikan atau bila perlu “menumbalkan” sebagaian
hidup bahkan dirinya sendiri kedalam jurang lautan yang “a humanis”.

Betapa tidak, manusia kebanyakan
saat ini semakin hari semakin mengurangi intensitasnya untuk saling
berinteraksi bertegur sapa, bercengkrama dengan sesama manusia. Pun kalau
terjadi, hanya pada tataran mekanis semata. Sepasang suami istri dalam sebuah
keluarga misalnya, bisa terjadi interaksi pabila sekadar untuk menyocokkan
jadwal bersama, ketika situasi manakala salah satu dari mereka sakit atau salah
satu dari anak mereka yang sakit, lebih parah jika ritual berinteraksi tersebut
hanya tersedia pada waktu weekend
atau pada saat hari raya. Manusia yang aneh.

Dalam ruang sosial yang lain
seperti dunia kerja misalnya, mungkin kejadiannya bisa lebih parah lagi.
Masyarakat kerja yang hanya terhimpun dalam sebuah aktivitas kerja, kegiatan
manusia tidak jauh beda dengan sistem mekanis saklar lampu: on/off. Pertemuan-pertemuan yang
diciptakan dalam ruang kerja hanya sebatas pemenuhan manusia sebagai homo labor. Tidak lebih dari itu. Dunia
kerja yang seperti itu hanya akan melahirkan ”keterasingan dunia”, yaitu
hilangnya dunia pengalaman dan tindakan yang dimiliki bersama. Sembari mengutip
seorang filsuf perempuan: Hannah Arendt, menurutnya kondisi tersebut akan mengakibatkan manusia
akan kesulitan untuk menemukan konfirmasi atas identitas diri dengan orang
lain. Maka semakin sulitlah kita untuk menemukan siap diri kita sesungguhnya.

Wilayah institusi pendidikan
seperti, sekolah atau universitas idealnya memang mampu memberikan ruang yang
seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya dalam upaya pemenuhan hasrat “ngobrol” ini.
Namun yang terjadi, tidak jauh beda dengan wilayah-wilayah sebelumya, yakni
ruang keluarga dan kerja.

Para siswa maupun
mahasiswa tidak sedikit yang hanya terjebak pada mekanisme dan rutinitas kebijakan
institusi. Belajar hanya sekadar rutinitas kegiatan untuk mendapatkan nilai dan
prestasi, dengan tidak mengindahkan bagaimana mendalami dan menghayati proses
belajar.

Lalu bagaimana? Adakah alternatif
lain untuk pemenuhan hasrat “ngobrol” yang ringan namun berbobot? Bagi sebagian
kalangan pelajar dan mahasiswa, hal seperti ini sesungguhnya bukanlah barang
baru. Mereka bisa temui dan ciptakan ruang-ruang “ngobrol” dalam berbagai
media. Mulai dari komunitas yang real
sampai ruang komunitas virtual reality.
Demikian pun, bagi masyarakat yang sudah akrab dengan dunia teknologi internet,
semuanya telah tersedia. Namun apakah dengan segala kemudahan dan ketersediaan
media teknologi mampu menghadirkan dan memenuhi “kesadaran” hasrat subtil
manusia tersebut?

Adanya sebuah pertemuan yang real; bertatap mata, saling tukar
bicara, berbagi tempat duduk, minuman dan makanan, saling menghargai pendapat
dan penyangkalan, humor yang mengundang canda tawa, berpelukan dan saling
berjabatan tangan dengan balutan obrolan yang hangat dan bersahabat menjadi
elternatif satu-satunya.

Memberikan ruang yang lapang
dalam setiap pertemuan yang intenslah sesungguhnya, manusia akan semakin
menemukan “kediriannya”. Tidak ada ruang lain, selain satu sama lain berusaha
saling membukakan diri dalam setiap pertemuannya, baik di rumah, sekolah,
universitas, ruang kerja, bahkan ruang ibadah sekalipun. Dengan demikian,
keterjebakan manusia dalam mekanisme rutinitas dunia lambat laun akan semakin
terangkat, manusia akan kembali kepada kemanusiaannya yang hakiki, sebagai
mahluk yang layak diandalkan sebagai khalifah, dimanapun ia berada.

Untuk mendapatkan kesadaran
tersebut, bukanlah sesuatu yang rumit. Semuanya ada disekitar kita, ada dalam
keseharian, bahkan dalam diri kita sendiri. Mengawali hidup dengan bertanya
terlebih dahulu, bahkan dengan sebuah pertanyaan yang terdengar bodoh sekalipun,
barangkali akan lebih baik ketimbang berlari-lari mengejar bis kota, tanpa
pernah tau bis arah mana yang sedang kita kejar. Pertanyaan bukanlah sebuah
ukuran. Demikian pun lebel bodoh yang kadung nempel pada hewan seperti keledai.

Keledai mungkin, bukanlah
binatang bodoh. Kebodohan hanya ada dalam pikiran. Sementara pikiran hanyalah
milik manusia. Tuhan telah menjadikan keledei sebagai metaphor bagi manusia. Jika
ada manusia yang berilmu, perpengetahuan, dan berpendidikan namun tidak pernah
mengamalkan, mempraktekkan apalagi untuk kebaikan segenap kebaikan alam
semesta, khususnya untuk manusia, maka tindakan tersebut sama halnya dengan “seekor
keledai yang hanya mampu memikul tumpukan buku-buku dan kitab-kitab di
pundaknya tanpa bisa menggunakannya.(Lihat, Q.S. 62:5). Lalu siapa sesungguhnya
yang bodoh? Manusia apa keledai?. by. rosihan fahmi.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Pengikut