Pembaca yang
budiman mungkin sudah sangat akrab dengan tontonan film-film kartun, yang
sering disajikan di hampir seluruh stasiun televisi di Indonesia.Sebuah tontonan yang
sering dianggap ringan nan menghibur bahkan dikategorikan sebagai tontonan
anak-anak yang tidak membutuhkan bimbingan orang tua dewasa. Sebut saja seperti
film kartun “Tom & Jerry”: Sebuah film kartun yang mengisahkan aksi
kejar-kejaran yang tiada henti antara sosok tikus kecil dan si kucing penjaga
rumah. “Sinchan“: Film kartun Jepang yang mengisahkan sosok seorang anak lelaki
mungil, murid dari salah satu Taman Kanan-kanak di Jepang yang pernah menjadi film kartun kontroversial di Indonesia. Tidak
jarang kalau kemudian tokoh-tokoh kartun itu kemudian menjadi tokoh favorit
atau malahan menjadi panutan (idola) anak-anak. Banyak lagi sejumlah film-film
kartun saat ini seperti keluaran Walt Disney, Niklodeon, dan film-film kartun
produksi Jepang yang telah menjadi bagian keseharian konsumsi anak-anak di
Negeri ini.

Film kartun
merupakan sebuah produk budaya masyarakat modern yang keberadaannya mampu
melampaui banyak generasi. Hampir mirip dengan produk budaya masyarakat
primitif dengan patung-patung, relief-relief, atau arca-arca yang juga mampu
melampaui peradaban. Meskipun dari masing-masing produk budaya tersebut
memiliki nilai-nilai yang sebenarnya tidak bisa diperbandingkan, karena memang
dari tujuan, semangat, kontekstualitas dan keperuntukannya yang berbeda. Namun
dalam dua hal tersebut (kartun sebagai produk modern, dan relief sebagai produk
primitif misalnya) memiliki garis merah sebagai bagian dari produk manusia. Sebagai
produk dari hasil ikhtiar manusia dalam merenungkan diri dan alam sekitarnya.

Tontonan film kartun
yang sering dianggap (bahkan disepelekan) sebagai tontonan anak-anak yang belum
dewasa oleh sebagian masyarakat di Negeri ini, mungkin karena berawal dari
asumsi bahwa film kartun bukan berasal dari dunia nyata (dunia manusia)
sehingga dianggap berjarak dengan keseharian manusia. Seperti kegiatan menonton
harimau di kebun binatang. Antara manusia dan harimau dibatasi dengan
kerangkeng. Aman!…toh harimau itu dikerangkeng dan tidak mungkin menggigit
atau menerkam anak-anak manusia yang sedang asyik menontonnya.

Berbeda dengan penyikapan
masyarakat yang menganggap dirinya dewasa ketika anak-anaknya sedang menonton
tayangan-tayangan yang bersifat nyata seperti film-film aksi, drama, sinetron, reality show, atau tayangan olah raga
seperti Smack Down, yang akhir-akhir ini
telah dianggap sebagai pemicu munculnya banyak korban (anak-anak) yang telah
menirukan adegan-adegan dalam tayangan tersebut, yang jelas-jelas
di/membutuhkan bimbingan atau tuntunan (guide)
dalam menikmatinya, malah sering luput disikapi secara serius. Manusia malas
untuk berpikir panjang untuk bisa melihat efek dari suatu kegiatan, sehingga
kalau sudah ada yang kena batunya –mati-baru ada tindakan.

Film kartun atau
animasi yang saat ini sedang populer, merupakan sebuh tontonan yang sering
dianggap tidak jauh dari sekadar hiburan belaka. Padahal kalau dicermati,
secara seksama dalam banyak adegannya sering mempertontonkan hal-hal yang berada
diluar nalar (akal sehat), bahkan orang dewasa pun akan mendapatkan kesulitan
dalam menjelaskan setiap adegan-adegannya. Dalam banyak adegan film-film
kartun, memang sering mengusung tema-tema yang bersifat kemanusiaan atau keseharian
manusia, seperti: persahabatan, percintaan, kekeluargaan, kepeduliaan,
kepahlawanan, dan lain sebagainya. Mungkin pesan-pesan seperti inilah yang diharapkan
dari orang-orang dewasa dengan membiarkan anak-anaknya untuk menyaksikan
tontonan film kartun tanpa bimbingan orang dewasa, selain karena media kartun
dianggap lucu, menghibur, dan efektif dalam menyampaikan pesan-pesan
kemanusiaan/kedewasaan kepada anak-anaknya.

Berpikiran positif (Positive Thinkink), seolah menjadi
tameng pembenaran dalam setiap menikmati tontonan film termasuk film kartun
atau animasi. Jarang kemudian orang sadar bahwa dalam adegan film kartun pun
sering tampak menyuguhkan adegan-adegan berbahaya ketimbang kelucuan. Sebut
saja adegan-adegan jahil (term yang cukup lembut untuk menggantikan term jahat
atau bahkan sadis) dalam Film “Tom & Jerry”, adegan “tolong menolong” antara
tokoh Nobita dan Doraemon (term yang cukup lembut juga untuk menggantikan term
ketergantungan, manja dan konsumtif) dalam tayangan film “Doraemon”, dan lain sebagainya. Berpikiran negatif (Negative Thinkink) seolah telah menjadi
pola pikir yang dibungkam, dilarang atau bahkan mungkin diharamkan. Mengapa demikian?
Karena orang dewasa sendiri tidak pernah menyikapi film-film kartun itu sebagai
suatu film yang mengerikan, sarat dengan adegan-adegan kekerasan,
diskriminatif, rasis, brutal, jahat, sadis, dan nilai-nilai yang bersifat
negatif lainnya (Negative Thinkink).
Coba tengok, kemudian cermati bagaimana seringnya divisualisasikan dalam
film-film kartun itu misalnya sampai-sampai ada adegan sang tokoh kartun yang
lari terbirit-birit sampai mampu menembus tembok-tembok dengan meninggalkan
jejak postur tubuhnya. Jatuh dari gedung yang entah dari ketinggian berapa
lantai, di tembak, di bom, di tendang sampai ke bulan. Semua adegan itu
ditampilkan tanpa pernah berdarah-darah, luka-luka (melukai orang lain),
apalagi menyebabkan kematian, karena dalam dunia “Tom & Jerry” (dunia
kartun) unsur kematian tidak berlaku. Bagaimana jika hal seperti ini juga
ditiru oleh anak-anak? Karena ini semua telah terlanjur dianggap hanyalah
sekadar tontonan anak-anak yang menghibur, lucu, dan mampu mengundang tawa!?…Apakah
kita akan menunggu lagi sampai ada jatuh korban? Atau kita akan membimbing
mereka dengan rasa cinta yang tulus nan ikhlas?…

Apapun yang terjadi
dalam setiap adegan-adegan film kartun atau animasi, pesan apapun yang hendak
disampaikan oleh sang penciptanya, dan pesan apapun yang kemudian di/keterima
oleh para penikmat tayangan film kartun, hanya ada satu ekspresi atau sensasi
yang bersifat universal dalam mengalami setiap menonton film kartun atau
animasi yaitu lucu!…Lucu karena menghibur dan bisa membuat orang tertawa
terbahak-bahak. Tanpa sadar perilaku dalam dunia kartun telah merasuki pikiran,
menjalar melalui darah-darah, dan bernaung disetiap jengkal urat nadi, manjadi
bagian dari keseharian manusia sendiri.

Dalam film kartun
yang sering menampilkan sosok-sosok hewan sebagai tokoh utama adalah merupakan
ironi tersendiri bagi manusia yang menyaksikannya, tidak sekadar mampu
menimbulkan sensasi tawa, namun mampu merefleksikannya secara manusiawi atau
bathini. Perumpamaan-perumpamaan atau analogi, yang dalam hal ini adalah
manusia yang disulap menjadi hewan kartun, bukanlah sebuah produk yang tanpa
akar sejarah. Sebut saja akar sejarah yang berasal dari Kitab Suci, misalnya
dalam Al-Quran sering ditemukan bagaimana sosok hewan seperti: lebah, semut,
keledai, monyet, dan lain sebagainya dijadikan sebagai hikmah, atau pelajaran bagi manusia. Bahkan, dalam salah satu ayat Al-Quran
disebutkan kalau tabiat manusia itu kadangkala melampaui hewan, bahkan lebih
sesat atau rendah ketimbang sifat-sifat hewan itu sendiri.

Hiruk pikuk manusia
masa kini dalam kesehariannya, pabila diperhatikan mungkin nasibnya akan sama
seperti yang terjadi dalam film-film kartun itu: ditertawakan. Sang pemerhati akan
tertawa terpingkal-pingkal pabila melihat/menonton sikap dan tindak-tanduk
sehari-hari manusia saat ini. Layaknya komentator bola, dengan bebas dan
lepasnya bisa memberikan pendapat tentang ini dan itu bagaimana bermain bola
yang baik, cantik dan fair play.
Namun sayang…sensasi tersebut sering ter/dibungkam, ter/dimanipulasikan dalam
ketidaksadaran manusia (yang berperan ganda sekaligus: subjek-objek) karena
manusia larut dalam dunianya. Selain itu kadangkala kegiatan tertawa atau
menertawakan kadang disikapi sebagai sesuatu yang mencemoohkan bahkan subversif
kertimbang disikapi sebagai kritik kesadaran atas kemanusiaannya (untuk tidak
menyebutkan manusia bodoh, tolol, kekanak-kanakan, atau tidak berpendidikan).
Manusia saat ini sering berlindung dari “kebenarannya” sendiri. Mirip seperti
nilai-nilai yang terkandung dalam film-film kartun. Kalau tidak keluar dari
nalar yang sifatnya common sense film
itu menjadi tidak seru lagi. “Kalau cuma makan gaji, mana cukup buat hidup
sehari-hari!”. “Kalau tidak melanggar aturan lalu lintas, bisa-bisa terlambat
kerja!”. “Kalau dengan satu kali pergi Haji bisa dianggap telah sempurna atau
menyempurnakan dalam menjalankan Rukun Islam, apalagi kalau berkali-kali!…”

“Selamat datang di
Negeri Kartun!…”di negeri ini hal yang tidak mungkin terjadi, bisa terjadi.
Di “Negeri Kartun”: Sesuatu yang dilarang bisa dilanggar, sesuatu yang bermakna
bisa menjadi tidak bermakna, sesuatu yang sakral bisa menjadi guyonan, yang
haram bisa menjadi halal, yang benar bisa menjadi salah, bahkan di negeri
kartun ini Tuhan pun layak untuk ditertawakan. “Negeri Kartun” adalah suatu
negeri yang tidak mengenal batas-batas nalar dan nilai—apapun boleh dan bisa
dilakukan. Rakyat-rakyat di “Negeri Kartun” tidak pernah mengenal lelah, dan
tidak pernah mengenal kata mati. “Negeri Kartun” adalah sebuah negeri yang
patut dan layak untuk ditertawakan. “Selamat datang di Negeri Kartun!…” (by.rosihan
fahmi)

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Pengikut