Suatu ketika,
Gandhi pernah dikirim cek sebesar dua puluh pound oleh sahabatnya Madeline dari
Inggris. Sebagai ucapan terima kasih, Gandhi mengirimkan sepucuk surat balasan
kepada Madeline, isi pesannya : “Temanku
,…Aku berterima kasih atas cek dua puluh pound yang kau kirimkan. Uang itu akan
digunakan untuk memopulerkan roda pintal”.

Pada masa itu
roda pintal menjadi simbol perjuangan masyarakat India yang melambangkan
kebajikan yang paling tinggi. Di bawah bimbingan Gandhi, simbol perjuangan itu
kemudian menjelma menjadi simbol dalam banyak hal: kaum miskin India,
perjuangan negeri India untuk kemerdekaan, dan persaudaraan yang bersifat
universal.

Cerita ini
hanyalah sepenggal peristiwa sejarah perjalanan perjuangan Mahatma Gandhi dalam
mewujudkan kemerdekaan. Bagi Gandhi, kemerdekaan dapat diwujudkan melalui
kemandirian masing-masing warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti
pakaian.

Cerita ini
mengundang kita untuk kembali mempertanyakan kembali keberadaan kita saat ini
di tengah impitan ekonomi dan pengaruh arus konsumerisme yang sengaja
diciptakan untuk menyokong pasar global. Lalu apa arti dari perjuangan dalam
membebaskan diri dari keterjajahan yang senantiasa terjadi dalam keseharian
kita? Bagaimana cara kita menyikapi permasalahan tersebut? Bukankah salah satu
bentuk dari penjajahan dan keterjajahan adalah aspek ketergantungan?
Ketergantungan pada pola konsumsi yang konsumtif misalnya, ketergantungan pada
barang-barang impor, ketergantungan pada teknologi, ketergantungan pada sikap
orang lain, dan lain sebagainya.



Belajar dari Gandhi

Dalam menyikapi
permasalahan tersebut, ada baiknya kita bercermin sejenak dari apa yang pernah
dilakukan oleh Mahatma Gandhi yang punya nama asli Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948). Ia
pernah melakukan gerakan nonkooperatif terhadap penjajah inggris kala itu,
sebuah gerakan politik moral yang menekankan pada pemintalan benang. Sebuah
gerakan yang berdasarkan pada semangat ahimsa
yang berarti nir-kekerasan (non-violence) atau bisa pula diartikan cinta, yang
kemudian melahirkan pandangan swasembada
dan swadeshi.

Esensi dari
gerakan swasembada atau self-sufficiensy village adalah
kemampuan setiap desa atau beberapa desa untuk melakukan secara bersama-sama
proses produksi mengubah bahan mentah manjadi barang-barang yang bisa digunakan
untuk memenuhi kebutuhan primer mereka dan juga kebutuhan orang lain. Sementara
itu, swadeshi berarti bertumpu pada
kekuatan sendiri (self-reliance).
Bagi Gandhi, baik swadeshi maupun swasembada sangat erat kaitannya dengan swaraj yang berarti kebebasan, merdeka,
atau pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule).
Alasanya, pemerintah negeri sendiri mustahil tercapai tanpa bertumpu pada pada
kekuatan sendiri, baik secara fisik maupun mental.

Gandhi menjadikan
roda pintal menjadi simbol dalam gerakan ini. Kegiatan memintal barang
merupakan aktivitas harian wajid di ashram.
Aktivitas memintal benang merupakan sesuatu yang esensial dalam program
konstruktif dalam ajaran Gandhi. Memintal, menurut Gandhi, dapat mengurangi
tingkat kemiskinan India dan membuat kaum miskin mandiri secara ekonomi. Selain
dari keuntungan ekonomi, Gandhi melihat aktivitas memintal benang sebagai cara
yang efisien untuk mendisiplinkan massa yang merupakan esensi vital gerakan perlawanan
sipil tanpa kekerasan.



“Do it yourself”

Swasembada dan swadeshi model Gandhi dapat menjadi solusi alternative dari masalah
perekonomian Indonesia saat ini. Hanya model ini dapat dilakukan bila kita
memiliki pemahaman yang memadai tentang esensi pembebasan dari keterjajahan.
Sempitnya pemahaman pembebasan dari keterjajahan secara substansial menyebabkan
manusia sering diliputi oleh berbagai kepentingan duniawi semata. Melakukan
proses pembebasan atau swaraj berarti
melakukan swasembada dan swadeshi.

Dalam semangat swasembada dan swadeshi, berkarya dan bekerja bukan hanya urusan pertimbangan
ekonomi semata. Oleh karena itu, perubahan tatanan ekonomi misalnya, yang
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan manusiawi harus berpegang
pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan ditunjukan untuk kesejahteraan manusia. Di
mata Gandhi, kemampuan manusia berkerja dan berproduksi itu sangat luar biasa
dan menakjubkan.

Bagi Gandhi,
kehormatan manusia itu bisa dikaitkan dengan kehormatan kerjanya. Seseorang yang
tidak bisa menerima kerja sebagai kehormatan, dia sendiri tidak akan memiliki
kehormatan. Oleh karena itu, tidak boleh ada seseorang pun yang memiliki hak
untuk bebas bekerja dan berkarya. Jadi, tidak ada alasan bagi satu orang pun
untuk berpangku tangan hanya karena merasa dirinya masih muda.

Kita sangat
membutuhkan gagasan Gandhi karena dalam beberapa aspek kita tak bisa
menggunakan kekayaan sumber daya bagi kesejahteraan bersama. Konon, Indonesia
merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah ruah dari sabang
sampai merauke dan memiliki potensi sumber daya manusia yang sangat banyak
sekitar dua ratus jutaan. Namun dari jumlah yang banyak tersebut, kebanyakan
adalah pengangguran.

Ada sebuah
fenomena menarik akhir-akhir ini yang sengaja diekspose oleh salah satu stasiun
televisi swasta terkemuka di Indonesia, tentang sebuah bursa lowongan kerja
yang diadakan hanya untuk menempati 500 kursi, sedangkan peminatnya mencapai
puluhan ribu pelamar yang kebanyakan dari mereka itu adalah generasi muda.
Sebenarnya fenomena ini bukanlah fenomena yang luar biasa. Pasalnya, pada
setiap dibuka bursa lowongan kerja, tumpah ruahnya pelamar menjadi pemandangan
sehari-hari dalam setiap bursa lowongan kerja dimanapun di negeri ini
diadakanya.

Fenomena sosial
semacam ini, kiranya mampu mendorong generasi muda untuk berpikir kritis dan
bertindak secara praktis. Selama generasi muda masih beranggapan bahwa
pekerjaan hanya bisa dicari dan bukan diciptakan maka fenomena berdesak-desakan
di bursa lowongan kerja akan semakin meluber bagai luapan lumpur Lapindo
Brantas.

Kondisi ini akan
semakin sulit apabila kecenderungan life
style, baik pada generasi muda maupun masyarakat, umumnya terjebak pada
pola konsumerisme dan materialisme. Life
style ini menyebabkan orientasi hidup lebih terarah pada kepemilikan
benda-benda, bukan pada pola produktivitas karya dan kerja. Dengan kata lain,
konsumerisme akan menggerogoti kemandirian bangsa.

Namun di sisi
lain, diam-diam masih ada riak-riak kecil dari generasi muda yang dapat memberikan
harapan bagi munculnya kemandirian. Pada kalangan generasi muda terdapat
filosofi “Do it yourself”. Dari
filosofi tersebut kemudian melahirkan komunitas-komunitas generasi muda kreatif
seperti bermunculannya penerbit-penerbit buku baru yang digawangi oleh para
mahasiwa, clothing dan distro-distro yang awalnya sekedar
pemenuhan kebutuhan komunitasnya.

Perusahaan-perusahaan
rekaman yang berada dibawah kibaran indie
label, sebagai salah satu bentuk
perlawanan terhadap perusahaan major
label. Home industry-home industry
seperti kue atau penganan lainnya yang awalnya hanya pesanan tetangga, kemudian
berkembang menjadi komoditas wisata dan menjelma menjadi trade mark kotanya sendiri.

Semangat “Do it yourself” ini dalam beberapa hal
mirip dengan semangat swasembada dan swadeshi Gandhi. Bila semangat ini mampu
menggema dan menjalar sampai ke relung kalbu dan urat-urat nadi seluruh
generasi muda bangsa Indonesia, mungkin yang terjadi pada fenomena bursa
lowongan kerja tidak akan seperti sekarang, yang terjadi malah bursa lowongan
kerja sepi peminat, bahkan mereka tidak sempat lagi memikirkan untuk melamar
kerja. Generasi muda saat ini misalnya, lebih memilih untuk menciptakan
pekerjaannya sendiri ketimbang menggantungkan diri menjadi seorang pegawai atau
buruh dari sebuah perusahaan asing.

Ajaran Gandhi
sebenarnya bukanlah ajaran yang asing dan susah direalisasikan. Semua agama
mengajarkan kemandirian dan kesederhanaan. Bahkan dalam salah satu memoarnya,
Gandhi secara jujur mengakui kekagumannya pada ajaran Rasul Muhammad tentang
gaya hidup sederhana. Dalam Young India
1922, Gandhi menulis, “Saya ingin mengetahui tentang manusia paling berpengaruh
dalam hati jutaan umat manusia…. Saya semakin bertambah yakin bahkan kemenangan
yang didapat oleh Islam pada masa-masa itu bukanlah dari ayunan pedang.
Kemenangan itu buah dari kesederhanaan Nabi yang gigih. Keikhlasan Nabi yang
telah mencapai puncaknya, kehati-hatian terhadap semua amanat yang diembannya,
pengabdian yang mendalam terhadap para sahabat dan pengikutnya, keberanianya,
ketidaktakutannya, keyakinan yang sempurna terhadap Tuhan dan misinya. Inilah
semua dan bukanlah jalan pedang yang mengatasi semua halangan-halangan itu.
Ketika saya menyelesaikan bab kedua dari biografi sang Nabi, saya menyesal:
sudah tidak ada lagi kehidupan agung lain yang bisa saya pelajari.”

Bila Gandhi
dapat belajar dari kesederhanaan dan keagungan Rasul Muhammad, tentu saja
mayoritas umat Islam Indonesia juga dapat melakukannya secara lebih baik. Khairunnas anfa’uhum linnas.
(Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain)!*** by. rosihan fahmi. (Pikiran Rakyat, 2 Februari 2007)

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Pengikut